SUKABUMI – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) R Syamsudin SH atau yang lebih dikenal dengan RS Bunut Kota Sukabumi tengah diterpa badai aib. Sepuluh pegawainya, terdiri dari empat Aparatur Sipil Negara (ASN) dan lima perawat, dinyatakan positif narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) setelah menjalani skrining internal pada Juli 2025 lalu.
Temuan ini menjadi pukulan telak bagi wajah pelayanan kesehatan publik. Ironisnya, skandal tersebut bukan hanya soal oknum pegawai yang kedapatan mengonsumsi narkotika, tetapi juga membuka borok lemahnya pengawasan peredaran obat terlarang di rumah sakit milik pemerintah.
Plt Direktur RSUD R Syamsudin SH, Yanyan Rusyandi, membenarkan bahwa kesepuluh pegawai tersebut telah dibebastugaskan dari pekerjaannya. Namun, pernyataan Yanyan justru memantik pertanyaan baru soal pengawasan internal.
“Kami sudah perketat sistem. Obat napza disimpan di boks berteralis besi, menggunakan dua kunci, dan alur pengambilan jelas. Tapi tetap saja ada pegawai yang menggunakan,” ungkap Yanyan, belum lama ini.
Ia juga mengakui adanya selisih antara jumlah stok napza dengan data yang seharusnya tercatat.
Seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya menuturkan bahwa selisih stok obat sering kali tidak ditindaklanjuti dengan investigasi menyeluruh.
“Kalau ada selisih, biasanya hanya dikonfirmasi ke bagian terkait, tapi jarang sampai ke proses hukum. Ini yang bikin pegawai berani,” ujar sumber tersebut.
Motif penyalahgunaan napza di kalangan pegawai rumah sakit pun beragam, mulai dari sekadar coba-coba, tekanan masalah keluarga, hingga kecanduan lama yang kambuh. Namun fakta bahwa pelakunya mayoritas tenaga kesehatan membuat kasus ini semakin serius. Mereka memiliki akses langsung terhadap obat-obatan yang seharusnya diawasi ketat.
Skandal ini memunculkan sejumlah pertanyaan krusial: bagaimana mungkin sistem pengawasan napza di RSUD R Syamsudin bisa ditembus orang dalam? Apakah mekanisme pengendalian obat hanya sebatas prosedur formal di atas kertas? Dan mengapa penyalahgunaan ini baru terungkap setelah skrining internal, bukan melalui pengawasan rutin farmasi rumah sakit?
Sementara proses administrasi dan hukum terhadap para pegawai masih bergulir, publik berhak mengetahui sejauh mana keseriusan manajemen RSUD maupun aparat penegak hukum dalam menindak kasus ini.
Apakah skandal ini akan menjadi pintu masuk pembenahan serius sistem pengawasan obat di rumah sakit pemerintah, atau justru berakhir sebagai “kasus musiman” yang perlahan menghilang dari ingatan? (Ky Sukabumi Ku)
The post Kasus Skandal Narkoba di RSUD R Syamsudhin SH, Sistem Pengawasan Obat Napza Dipertanyakan first appeared on Inilah Sukabumi.